Latest Movie :

Omzet Percaloan SIM di Polresta Bekasi Kota Puluhan Juta Per Hari

Dalam rangka advokasi masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik bebas pungli di Bekasi, Perkumpulan Sahabat Muslim Indonesia melalui kegiatan pemantauan dan investigasi lapangan berhasil menangkap tangan salah seorang calo SIM yang berkeliaran dan beroperasi di lingkungan Polresta Bekasi Kota. Hasil operasi tangkap tangan berupa SIM-A atas nama Ketua Sahabat Muslim Indonesia Muhammad HS tersebut kemudian diserahkan kepada Kapolresta Bekasi Kota Kombes Priyo Widiyanto, dengan harapan kasusnya dapat ditindaklanjuti secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Dan juga diharapkan, dengan adanya barang bukti berupa SIM-A yang ilegal itu, dimana SIM bisa diterbitkan meskipun Pemohon tidak mengikuti tahap uji teori dan uji praktek mengemudi, karena mengunakan jasa calo dengan membayar biaya ekstra, kiranya dapat dijadikan dasar tindakan untuk dilakukannya perbaikan yang menyeluruh terhadap tata kelola pelayanan SIM di Polresta Bekasi Kota, yang oleh Kapolres sendiri diakui masih banyak kelemahannya.

Upaya advokasi lebih lanjut yang dilakukan oleh Sahabat Muslim adalah memberikan saran masukan kepada Kapolresta Bekasi Kota, khususnya saran masukan untuk perbaikan tata kelola pelayanan yang dapat menghilangkan terjadinya penumpukan pelayanan dan antrian panjang di loket pelayanan, menyediakan prosedur layanan yang memudahkan Pemohon SIM untuk mendapatkan kelulusan pada tahap mengikuti uji teori dan uji praktik mengemudi, serta menutup celah-celah yang membuka kesempatan terjadinya praktik pungli dan percaloan yang merugikan masyarakat. Karena berdasarkan investigasi dan penelitian yang dilakukan oleh Sahabat Muslim, dan juga pendapat para ahli/pakar/aktivis LSM yang mengkritisi maraknya praktik pungli dalam proses pelayanan penerbitan SIM di Polres-Polres seluruh Indonesia, dapat disimpulkan bahwa praktik percaloan dan pungli SIM adalah berakar masalah dari adanya kondisi yang dirasakan sangat menyulitkan para Pemohon SIM pada saat menempuh prosedur pembuatan SIM. Yaitu adanya antrian yang panjang, serta sulitnya untuk memperoleh kelulusan pada tahap uji teori dan uji praktik mengemudi. Sehingga, kondisi sulit itu kemudian secara sistematis dijadikan modus "pemerasan yang legal", dengan menggunakan tangan para calo, yang diantaranya bahkan ada calo yang berseragam polisi.

Dalam hal ini, Pemohon SIM digiring kepada pilihan yang menawarkan kemudahan. Yaitu, dengan cara membayar ekstra berupa biaya jasa calo yang nilainya sampai 4-5 kali lipat dari biaya resmi pembuatan SIM. Dan tentu saja, pilihan yang ditawarkan para calo itu menjadi pilihan yang sangat logis. Karena dengan rela (terpaksa) membayar Rp 550.000,- untuk SIM-C atau Rp 600.000,- untuk SIM-A, (Padahal, tarif resmi untuk SIM-C adalah Rp 80.000,- dan SIM-A Rp 120.000,-) Pemohon SIM bisa langsung masuk ke tahap pengambilan foto diri, tanpa harus repot-repot mengikuti tahap uji teori/praktik ataupun harus mengantri di loket pemeriksaan kesehatan dan di loket lainnya. Dan dalam waktu paling lama 30 menit, SIM sudah ditangan. Sedangkan kalau Pemohon SIM menempuh prosedur yang normal, maka selain harus mengikuti antrian panjang sampai berjam-jam, bisa jadi dalam waktu berminggu-minggu Pemohon SIM harus bolak balik lagi datang ke Polres untuk mengikuti uji teori atau uji praktik, karena belum dinyatakan lulus. Karena untuk mendapat predikat lulus, Pemohon SIM harus lebih dulu menghafal berbagai pengetahuan dan aturan berlalu lintas, serta berlatih keras agar memiliki keterampilan berkelok-kelok mengemudikan kendaraan bermotor di jalur yang sangat sempit. Maka, jika dihitung-hitung, bisa jadi kerugian biaya dan kerugian waktu yang dihabiskan Pemohon SIM justru lebih besar dari nilai uang 600 ribu, apabila tetap keukeh memilih jalur prosedur normal. Jadi, bagi kebanyakan Pemohon SIM, pilihan menggunakan jasa calo adalah pilihan yang sangat logis. Dan bagi mereka, pilihan menempuh prosedur jalur yang normal adalah pilihan yang menyulitkan diri sendiri. 

Sahabat Muslim menyampaikan saran masukan agar kepada para Pemohon SIM yang akan mengikuti uji teori, hendaknya dapat lebih dahulu diberikan bekal pengetahuan mengemudi kendaraan di jalan raya, dan pengetahuan tentang peraturan berlalu lintas. Hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan buku-buku, brosur ataupun media lainnya yang memudahkan para pemohon SIM untuk mendapat nilai lulus dalam uji teori. Sedangkan dalam tahap uji praktik mengemudi, kiranya Polresta Bekasi Kota dapat segera menyediakan sarana uji praktik mengemudi dengan fasilitas simulator. Karena uji praktik mengemudi yang selama ini dilakukan di Polresta Bekasi Kota dengan secara manual, sesungguhnya sangat merugikan pihak Pemohon SIM. Mengingat, metode uji praktik mengemudi yang diterapkan kepada Pemohon SIM tergolong sangat sulit. Dimana Pemohon SIM dituntut untuk memiliki keterampilan mengemudi layaknya seorang ahli akrobat atau seorang pembalap yang ahli, yang mampu berkelok-kelok mengemudikan sepeda motor menghindari rintangan balok-balok yang dipasang berjajar dengan jarak yang sangat sempit, yang keterampilan seperti itu sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan nyata praktik mengemudi yang sebenarnya di jalan raya. Dalam hal ini, apabila tersedia sarana simulator, akan sangat membantu Pemohon SIM untuk lebih dulu berlatih mengemudi dengan menggunakan sarana simulator sebelum mengikuti tahap ujian.

Dan juga disarankan agar Polresta Bekasi Kota dapat menambah jumlah kendaraan uji, yang saat ini cuma ada satu kendaraan yang akan digunakan oleh ratusan orang Pemohon SIM. Yang hal itu mengakibatkan terjadinya penumpukan pelayanan dan antrian yang panjang (kalau saja seluruh Pemohon SIM betul-betul mengikuti tahap uji praktik dan tidak potong kompas melalui jasa calo, bisa jadi antrian akan mengular sampai ratusan meter panjangnya). Begitupun disarankan, apabila pemohon SIM dinyatakan belum lulus dalam uji teori ataupun uji praktik mengemudi, hendaknya dapat diberikan kesempatan untuk mengulang pada saat itu juga, atau hari itu juga, atau hari lainnya tanpa dibatasi atau ditentukan sepihak oleh pihak Polresta Bekasi Kota. Karena apabila Pemohon SIM yang tidak lulus kemudian disuruh datang lagi seminggu kemudian, seperti praktik yang terjadi selama ini di Polresta Bekasi Kota, tentu saja hal itu menjadi menyulitkan dan merugikan pihak pemohon SIM. Karena pemohon SIM harus bolak balik ke Polresta Bekasi Kota, yang hal itu menyita banyak waktu dan juga biaya transportasi. Belum lagi kalau tahap ujian ulangan yang diikuti ternyata belum juga dinyatakan lulus dan harus mengulang lagi. Dalam hal untuk menghilangkan terjadinya antrian yang panjang ataupun penumpukan pelayanan di loket-loket pelayanan, mengingat jumlah Pemohon SIM di Polresta Bekasi Kota setiap harinya sangat banyak, berkisar antara 300 sampai 500 Pemohon SIM, Sahabat Muslim memberikan saran masukan agar dilakukan penambahan personil petugas pelayanan dan penambahan sarana prasarana pelayanan, khususnya di loket pelayanan pemeriksaan kesehatan dan loket pelayanan pengambilan foto diri Pemohon SIM. Juga disarankan agar dilakukan penyederhanaan prosedur dalam pemenuhan syarat kesehatan, dengan cara Pemohon SIM cukup membawa surat keterangan dokter/rumah sakit/puskesmas.

Namun, sungguh teramat memprihatinkan, segala saran masukan dari Sahabat Muslim nampak-nampaknya tidak cukup mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat pimpinan ataupun penentu kebijakan di Polresta Bekasi Kota. Praktik percaloan dan pungli masih terus terjadi, dan masyarakat Pemohon SIM tetap "dipaksa" untuk mengeluarkan biaya ekstra demi menghindari kerepotan-kerepotan dan kerugian yang lebih besar, karena SIM nya tidak jadi-jadi.. Begitu juga janji Kapolres dan Kasatlantas Polresta Bekasi Kota yang akan menerapkan sistem nomor antrian di loket pelayanan SIM, ternyata cuma janji kosong yang begitu saja diingkari. Yang justru terjadi adalah perbaikan dalam modus percaloan/pungli itu sendiri. Kalau sebelumnya, Pemohon SIM yang lewat calo tidak perlu mengikuti tahap uji teori/prakti mengemudi, modusnya diperbaiki dengan cara setiap Pemohon SIM diharuskan tetap menempuh tahap uji teori/praktik mengemudi. Tetapi, si calo telah memberitahu lebih dulu bahwa uji teori/praktik mengemudi yang diikuti cuma formalitas belaka, dan akan dijamin lulus sekali ujian tanpa ada ujian ulangan. Perbaikan modus ini adalah untuk menepis tudingan kalau Pemohon SIM yang menggunakan jasa calo bisa langsung potong kompas dan tidak perlu mengikuti tahapan-tahapan prosedur yang ada.

Sahabat Muslim kemudian mencoba mengadvokasi ke tingkat yang lebih atas dengan cara melaporkan Kapolresta Bekasi Kota kepada Divisi Propam Mabes Polri, serta melaporkan Kasatlantas dan Kanit SIM Satlantas Polresta Bekasi Kota kepada Bidpropam Polda Metro Jaya, dengan dugaan pelanggaran Disiplin Anggota Polri dan/atau dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, terkait tindakan pembiaran dan/atau turut terlibat memfasilitasi terjadinya praktik percaloan/pungli dalam proses penerbitan/pelayanan SIM di lingkungan Polresta Bekasi Kota. Namun, kasus SIM ilegal yang ditangani oleh Divpropam Mabes Polri maupun yang ditangani oleh Bidpropam Polda Metro Jaya itu, sampai saat ini tidak jelas proses penanganannya alias kasusnya "digantung", atau bisa jadi kasusnya sudah masuk kotak x-file dan "dipetieskan". Jadi, bagaimana tidak dikatakan kalau para pimpinan Polri adalah para pendusta dan pengelabu publik? Faktanya menunjukkan, para elit dan pimpinan Polri yang selalu gembar-gembor menggiatkan reformasi birokrasi di tubuh Polri, yang katanya adalah untuk membersihkan tubuh Polri dari anasir-anasir busuk yang merusak kepercayaan publik terhadap kinerja dan pelayanan Polri kepada masyarakat, kenyataannya cuma isapan jempol belaka. Yang terjadi, praktik percaloan dan pungli SIM di seluruh Polres se-Indonesia terus berlangsung aman, dan ditengarai memang betul-betul "dipelihara". Karena pemasukan uang haram dari praktik percaloan/pungli SIM jumlahnya cukup fantastik. Dalam sebulan saja, diduga setiap Polres bisa meraup milyaran rupiah, dan sebagian besarnya masuk mengisi pundi-pundi kekayaan petinggi dan elit Polri? Belum lagi pendapatan dari uang pemeriksaan kesehatan sebesar Rp 20.000,- per Pemohon SIM, dan juga keuntungan yang didapat dari pihak perusahaan asuransi, yang tentu saja tidak ragu-ragu untuk memberi sucses fee atas kemudahan meraup nasabah dalam jumlah jutaan orang yang adalah setiap pemegang kartu SIM. Karena setiap Pemohon SIM seolah-olah wajib mengikuti program asuransi yang sebenarnya tidak wajib, tetapi seolah-olah menjadi wajib karena proses pembayaran uang asuransi sebesar Rp 30.000,- menjadi bagian prosedur yang wajib dilalui dan seolah-olah menjadi bagian persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon SIM.. Lucunya, dalam proses pemeriksaan kesehatan di Polresta Bekasi Kota, kepada Pemohon SIM sama sekali tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan, tetapi hanya ditanya berat badan dan tinggi badannya saja. Keterlaluan ya?
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia