Latest Movie :

Penerapan Sanksi Pidana UU KIP Terganjal di Tingkat Penyidikan

Sanksi pidana dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sesungguhnya dimaksudkan untuk memperkuat dan mengefektifkan perlindungan hak publik atas akses informasi. Karena tindakan badan publik yang menutup atau tidak membuka akses informasi publik sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum yang melanggar hak warga negara. Dan apabila tindakan menutup atau tidak membuka akses informasi itu dilakukan dengan secara sengaja dan menimbulkan akibat hukum merugikan pihak pengguna informasi publik, maka tindakan tersebut adalah tindak kejahatan yang dapat diganjar hukuman pidana. Sehingga, pengenaan sanksi pidana kepada badan publik atau pejabat di badan publik yang bertanggung jawab untuk membuka akses informasi kepada publik, akan menimbulkan efek jera dan dapat mencegah badan publik bertindak sewenang-wenang menutup akses informasi dari pengetahuan publik.

Namun, penerapan sanksi pidana KIP saat ini mengalami hambatan di tangan penegak baju coklat. Sudah sekian banyak laporan pidana KIP akhirnya "kandas" di tangan Polisi. Di Bareskrim Mabes Polri ada kasus pidana KIP terkait informasi publik tentang nama-nama susu formula berbakteri yang menurut pasal 52 UU KIP seharusnya diumumkan kepada masyarakat karena termasuk jenis informasi publik wajib diumumkan secara serta merta yaitu informasi yang dapat mengancam hajat kehidupan orang banyak dan/atau menggangu ketertiban umum. Tetapi, ketika kasusnya dilaporkan ke pihak kepolisian, ternyata pihak Bareskrim Mabes Polri yang menangani kasus tersebut menyatakan tidak dapat melanjutkan proses penyidikan/penyelidikan dengan alasan kasus yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana. Lalu, di Polda Metro Jaya dan di Polda Jawa Barat serta di Polresta Bekasi Kota juga ada sekian banyak kasus pidana KIP yang dihentikan proses penyidikannya dengan alasan tidak cukup bukti. Dalam hal ini, polisi berargumen bahwa tidak ada bukti kalau tindakan badan publik yang tidak menyediakan dan/atau tidak mengumumkan dan/atau tidak memberikan informasi publik berdasarkan prosedur permintaan, mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Menurut polisi, jika tidak ada pihak yang dapat membuktikan dirinya dirugikan secara materil berupa kerugian uang ataupun kerugian harta benda, maka unsur kerugian dalam delik pidana dimaksud tidak terpenuhi

Tindakan Kepolisian yang menggunakan alasan bahwa unsur kerugian dalam delik pidana keterbukaan informasi publik adalah harus berupa kerugian materil yang dapat dibuktikan secara nyata, adalah sangat mempersempit makna kerugian dalam konteks hukum pidana. Karena sesungguhnya, akibat hukum yang ditimbulkan oleh satu perbuatan yang merugikan orang lain atau pihak lain dapat terjadi tidak saja dalam bentuk kerugian yang bersifat materil berupa kerugian uang atau harta benda, tetapi juga dapat berupa kerugian yang bersifat non materil atau inmateril. Dan dalam konteks hukum pidana di Indonesia, kerugian yang bersifat non materil seperti kerugian tercemarnya nama baik, sudah secara formal masuk dalam aturan hukum pidana di Indonesia sebagaimana termuat di KUHP dan UU ITE.

Maka, harus dikatakan kalau tindakan Kepolisian yang secara "kaku" dan sempit memaknai unsur kerugian yang dialami oleh pengguna informasi publik harus berupa kerugian materil yang dapat dibuktikan secara nyata dalam bentuk kerugian uang ataupun harta benda, adalah tindakan penegak hukum yang menghalangi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan. Karena sesungguhnya, pengguna informasi publik, baik secara langsung ataupun tidak langsung pasti mengalami kerugian atas kegagalan mengakses atau kegagalan mendapatkan informasi publik yang dibutuhkannya. Yang kegagalan itu akses itu adalah disebabkan oleh tindakan badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan dan tidak mengumumkan dan/atau tidak memberikan informasi publik berdasarkan prosedur permintaan. Padahal, informasi publik tersebut benar-benar berada dalam penguasaan badan publik dan tidak termasuk jenis informasi publik dikecualikan.

Lagi pula, bukankah tugas penyidik Kepolisian adalah semata-mata tugas untuk mencari dan menemukan dua alat bukti untuk mendukung dugaan terjadinya suatu tindak pidana? Dan bukankah untuk membuktikan ada atau tidaknya suatu perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh seseorang itu adalah tugasnya Hakim melalui proses persidangan? Sedangkan dalam dugaan pidana KIP yang dilaporkan masyarakat kepada instansi Kepolisian telah disertai dengan dua alat bukti yang cukup. Yaitu, alat bukti surat berupa Putusan Komisi Informasi yang telah berkekuatan hukum tetap, dan alat bukti keterangan saksi-saksi?

Jadi, sangat patut diduga kalau penerbitan sekian banyak SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terhadap perkara pidana KIP merupakan satu bentuk upaya untuk menghambat keberhasilan implementasi UU KIP. Dan patut diduga pula kalau hal itu menjadi bagian "konspirasi jahat" pejabat/pimpinan badan publik yang "ketakutan" apabila sanksi pidana KIP dapat diterapkan. Karena pasti akan mengancam banyak pejabat badan publik "bermasalah" di negeri korup ini.

Uniknya, dari sekian banyak laporan kasus pidana KIP, ada satu kasus yang ditangani oleh Polda Banten yang pihak terlapornya telah ditetapkan secara resmi sebagai tersangka, yakni Kepala Biro Humas Pemprov Banten, Komari. Celakanya, sampai sekarang kasus tersebut masih menggantung dan tidak jelas proses penanganannya.

Jadi, bagaimana kita bisa berharap UU KIP akan efektif melindungi hak warga negara atas akses informasi publik, jika penerapan sanksi pidana yang dapat membuat jera badan publik penghambat akses informasi publik di Indonesia justru "diganjal" penerapannya oleh polisi?


Berita terkait :
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia