Latest Movie :

Hambat Akses Informasi Publik, Kejahatan Korporasi

"Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai Undang-Undang ini dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)". Pasal 52 Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini memposisikan badan publik sebagai pelaku kejahatan korporasi (corporate crime), apabila sengaja tidak membuka akses informasi kepada publik.

"Ganti rugi atas perbuatan Badan Publik Negara yang mengakibatkan adanya kerugian material yang diderita oleh Penggugat dilaksanakan berdasarkan tata cara pelaksanaan ganti rugi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)". Pasal 16 Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini memberi hak kepada korban kejahatan akses informasi publik untuk mengajukan gugatan dan mendapatkan ganti rugi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"(1) Pembayaran pidana denda bagi Badan Publik dibebankan pada keuangan badan publik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pidana denda sebagaimana dimaksud pada pasal (1) menjadi tanggung jawab Pejabat Publik dan tidak menjadi beban keuangan Badan Publik jika dapat dibuktikan tindakan yang dilakukannya diluar tugas pokok dan fungsinya dengan melampaui wewenangnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan Badan Publik yang bersangkutan". Pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini menempatkan tanggung jawab untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan oleh Pengadilan, dapat dibebankan kepada keuangan badan publik dan dapat juga dapat dibebankan kepada pejabat badan publik yang bertugas dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan informasi publik.

Dengan adanya pasal 52 UU KIP yang mengenakan ancaman pidana atas perbuatan sengaja menghambat akses informasi publik atau menyembunyikan informasi dari pengetahuan publik, seharusnya dapat mengakselerasi keberhasilan implementasi UU KIP dalam rangka untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Sehingga, apa yang menjadi tujuan dari undang-undang itu sendiri (pasal 3 UU KIP), yaitu untuk menjamin dan melindungi hak setiap warga negara atas akses informasi publik, untuk mendorong peran serta masyarakat dalam proses kebijakan publik, untuk mendorong terwujudnya tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat terealisasi dan berdampak kepada peningkatan derajad kesejahteraan warga negara.

Namun pada prakteknya, hal tersebut saat ini masih sangat sulit untuk diwujudkan. Padahal, tak terhitung banyaknya kasus sengketa informasi publik yang secara nyata menunjukkan telah terjadi tindak kejahatan akses informasi publik. Yaitu, berupa perbuatan sengaja tidak mengumumkan informasi publik ataupun tidak memberikan informasi publik kepada Pemohon Informasi. Fakta itu terungkap melalui proses penyelesaian sengketa informasi publik yang dilaksanakan oleh Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Dalam hal ini, Putusan Komisi Informasi yang memerintahkan badan publik untuk melaksanakan kewajiban hukumnya, yakni membuka akses informasi kepada publik, telah menjadi bukti sempurna yang menunjukkan terjadinya kejahatan akses informasi publik. Yaitu, berupa tindakan badan publik yang dengan secara sengaja menghambat akses informasi publik atau sengaja menutup akses informasi dari pengetahuan publik, dan/atau menghalang-halangi terpenuhinya hak warga negara atas akses informasi publik.

Tetapi, hukum yang ada saat ini belum mampu menjerat para pelaku kejahatan akses informasi publik. Padahal, para penjahat itu nyata-nyata telah melakukan tindakan merampas hak warga negara, yang  hal itu dibuktikan melalui proses penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi dan/atau Pengadilan. Pasal 52 UU KIP ternyata tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menyeret para penjahat informasi publik ke meja hijau. Pasalnya, penerapan pasal 52 UU KIP terganjal oleh kalimat "mengakibatkan kerugian bagi orang lain" yang terdapat pada teks pasal 52 UU KIP itu sendiri. Dalam hal ini, adanya syarat mengakibatkan kerugian bagi orang lain yang harus dipenuhi sebagai unsur delik pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 UU KIP, menempatkan posisi hukum perbuatan menghambat informasi publik atau perbuatan menyembunyikan informasi publik bukan sebagai perbuatan melawan hukum, jika tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Celakanya, makna kerugian ini oleh pihak Kepolisian dipersempit hanya berupa unsur kerugian yang bersifat material saja. Sedangkan kerugian yang bersifat non material atau immateriil dinyatakan tidak termasuk kerugian dalam konteks tindak pidana keterbukaan informasi publik. Akibatnya, beberapa kasus dugaan tindak pidana keterbukaan informasi publik yang dilaporkan oleh masyarakat menjadi terganjal, dan penyidikan kasusnya di SP3 (dihentikan). Polisi beralasan kalau penghentian penyidikan dilakukan karena tidak ditemukan bukti yang cukup. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan tidak ditemukan bukti yang cukup, adalah tidak terpenuhinya unsur kerugian. Pihak Pelapor dianggap tidak dapat menunjukkan bukti adanya kerugian material akibat dari tidak diperolehnya informasi publik. Argumen Polisi ini sebenarnya agak aneh. Mengingat, secara pengertian hukum itu sendiri, apabila seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya, maka sesungguhnya orang itu telah mengalami kerugian. Jadi, kerugian yang dimaksud dalam pasal 52 UU KIP seharusnya dimaknai sebagai kerugian yang dapat berupa kerugian materiil, dan juga kerugian immateriil. Dalam hal ini, kerugian immateriil yang dialami oleh warga negara adalah kerugian berupa tidak terpenuhinya hak sebagai warga negara (hak konstitusional) dan juga hak sebagai manusia (hak asasi manusia), yaitu hak untuk mendapatkan akses informasi publik itu sendiri. Kemudian atas kegagalan akses informasi publik tersebut, timbul juga dampak akibat kerugian immateriil lainnya yang mengikuti. Yaitu, kerugian atas hilangnya kesempatan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kecerdasan, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan sosial. Dengan demikian, kegagalan akses informasi publik yang dialami oleh warga negara adalah suatu kerugian yang nyata.

Faktor lain yang juga menyulitkan untuk menempatkan perbuatan menghambat akses informasi publik sebagai tindak kejahatan korporasi, adalah penempatan kasus dugaan pidana keterbukaan informasi publik sebagai delik aduan. Sehingga, kasus pidana keterbukaan informasi publik juga dipersempit ruang geraknya dengan pembatasan hak melapor hanya diberikan kepada pihak yang berkepentingan saja, dan tidak menjadi hak setiap orang. Begitu juga posisi hukum perbuatan menghambat akses informasi publik yang tidak ditempatkan sebagai perbuatan kriminal, seperti misalnya perbuatan mencemarkan nama baik. Dalam hal ini, meskipun status delik pidananya sama, antara perbuatan menghambat akses informasi publik dengan perbuatan mencemarkan nama baik, yaitu sama-sama delik aduan, tetapi perlakuan penanganannya berbeda. Karena perbuatan mencemarkan nama baik diposisikan sebagai tindak kriminal, sehingga dapat langsung dilaporkan ke Polisi. Sedangkan perbuatan menghambat akses informasi publik tidak diposisikan sebagai tindak kriminal. Melainkan diposisikan sebagai tindakan yang dapat dipersengketakan atau diperselisihkan secara hukum, dan harus lebih dahulu diselesaikan dengan prosedur penyelesaian sengketa informasi publik melalui Komisi Informasi/ Pengadilan, sebelum dapat diajukan tuntutan pidana atau dilaporkan kepada Polisi.

Jadi, posisi hukum pasal 52 UU KIP saat ini seolah "tersandera" oleh dirinya sendiri, dan juga "disandera" oleh tafsir hukum pihak Kepolisian yang mempersempit pemaknaan unsur kerugian pada delik pidananya. Kondisi ini tentu menjadi sangat merugikan upaya untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia, dan kontraproduktif terhadap capaian keberhasilan implementasi UU KIP itu sendiri. Dengan adanya ganjalan dalam penerapan sanksi pidana pasal 52 UU KIP ini, membuat para penjahat akses informasi publik tetap bersemangat untuk mempertahankan rejim ketertutupan informasi yang dianut oleh badan publiknya. Maka, bagi para aktivis keterbukaan informasi publik yang giat mengadvokasi UU KIP, harus lebih kerja kerjas mencari dan mengupayakan langkah terobosan hukum yang lebih brilliant. Agar perbuatan menghambat akses informasi publik atau perbuatan menyembunyikan informasi dari pengetahuan publik, dapat dikenai sanksi pidana pasal 52 UU KIP. Agar badan publik tidak terus menerus melakukan tindakan melanggar hak warga negara atas akses informasi publik, karena tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan, yang dapat menimbulkan efek jera.
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia