Latest Movie :

Implementation Error Komisi Informasi

Sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk menjalankan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dalam rangka untuk menjamin dan melindungi hak warga negara atas akses informasi publik dan untuk mewujudkan tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel, saat ini Komisi Informasi mengalami beberapa keadaan disfungsi atau implementation error antara lain :
  1. Komisi Informasi tidak memiliki kemandirian dalam hal menentukan anggaran kelembagaannya. Dalam hal ini, alokasi anggaran Komisi Informasi Pusat berada dan melekat pada anggaran salah satu Satuan Kerja di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Untuk Komisi Informasi Provinsi berada dan melekat pada salah satu Satuan Kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi (ada juga yang anggarannya tidak melekat di Satuan Kerja Provisni, tetapi bersumber dari dana hibah APBD Provinsi), dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota keadaannya sama dengan Komisi Informasi Provinsi.
  2. Secara praktik, baik samar maupun nyata, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Komisi Informasi Pusat berada dalam pengaruh dan campur tangan Pemerintah Pusat (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Sedangkan Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia berada dalam pengaruh dan kendali Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.
  3. Ketidakmandirian Komisi Informasi secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, khususnya dalam menyelesaikan sengketa informasi publik, menjadi tidak independen dan tidak profesional. Yang antara lain ditunjukkan dengan banyaknya kasus penanganan penyelesaian sengketa informasi publik oleh Komisi Informasi Pusat maupun Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia yang berlangsung dengan menyalahi standar pelayanan dan melanggar aturan UU KIP. Khususnya apabila terkait dengan sengketa informasi publik yang pihak Termohonnya adalah badan publik yang menjadi induk semang Komisi Informasi Pusat yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Publik yang menjadi induk semang Komisi Informasi Provinsi yaitu Pemerintah Provinsi, dan Badan Publik yang menjadi induk semang Komisi Informasi Kabupaten/Kota yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota.
  4. Komisi Informasi juga mengalami disfungi dalam penegakan hukum keterbukaan informasi publik. Yaitu, dari yang semula berkedudukan sebagai lembaga penyelesai sengketa informasi publik, kemudian berubah menjadi lembaga Pengadilan Tingkat Pertama. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi tidak menjadi proses akhir dari penanganan kasus sengketa informasi publik. Tetapi, menjadi proses tahap pertama dalam menyelesaikan sengketa informasi publik. Dimana Komisi Informasi tidak menjalankan fungsi penegakan hukum untuk mengakhiri sengketa informasi publik, melainkan menangani kasus sengketa informasi publik dengan proses penanganan yang bersifat mengadili layaknya badan peradilan. Karena putusan Komisi Informasi dapat diajukan banding oleh Badan Publik kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri dan juga dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, apabila pihak Badan Publik tidak menerima putusan Pengadilan yang memenangkan pihak Warga Negara Pemohon/Pengguna Informasi Publik.
  5. Dengan adanya mekanisme banding yang memberi hak gugat kepada Badan Publik, maka fungsi Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesai sengketa informasi publik menjadi hilang dan berubah menjadi Lembaga Pengadilan Tingkat Pertama, yang putusannya harus dianggap benar sampai ada putusan di atasnya yang membatalkan (berupa putusan PTUN atau putusan PN atau Putusan Kasasi MA).
  6. Kedudukan Komisi Informasi yang berubah menjadi Lembaga Pengadilan Tingkat Pertama sangat menyalahi dan bertentangan dengan segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, sekaligus menyalahi serta bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik itu sendiri. Karena jika putusan Komisi Informasi harus dianggap benar sampai ada putusan di atasnya yang membatalkan, maka putusan Komisi Informasi harus mencantumkan irrah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam diktum Putusannya. Dan Majelis Komisioner Komisi Informasi yang menyidangkan sengketa harus menggunakan pakaian Toga, yang menyimbolkan dirinya sebagai Wakil Tuhan yang melaksanakan tugas mengadili manusia di dunia. Padahal, tujuan dibentuknya Komisi Informasi adalah untuk menjalankan tugas menyelesaikan sengketa informasi publik. Bukan untuk mengadili.
  7. Implementation error Komisi Informasi yang semula berkedudukan sebagai lembaga penyelesai sengketa dan kemudian berubah menjadi lembaga pengadilan tingkat pertama, mengakibatkan warga negara Pengguna/Pemohon Informasi Publik yang semata-mata menggunakan haknya untuk mengakses informasi publik dan tidak melakukan sesuatu apapun yang merugikan Badan Publik, tiba-tiba dapat berubah status hukum menjadi seorang Tergugat di Pengadilan dan dapat dihukum untuk membayar biaya perkara apabila Pengadilan memenangkan pihak Badan Publik.
  8. Implementation Error lainnya yang terjadi di tubuh Komisi Informasi adalah dalam penentuan periodesasi kepemimpinan Ketua/Wakil Ketua Komisi Informasi. Lazimnya yang berlaku di lembaga Komisi Negara lainnya, penentuan masa tugas Ketua/Wakil Ketua Komisi adalah mengikuti periodesasi keanggotaan Komisi. Namun, di Komisi Informasi hal itu dirubah menjadi 2 (dua) kali pergantian (kocok ulang) dalam periodesasi keanggotaan Komisi Informasi yang 4 (empat) tahun. Implementation eror ini cukup berdampak merugikan publik. Karena beberapa Komisi Informasi yang mengalami kasus gontok-gontokan dan kubu-kubuan diantara sesama anggota Komisi Informasi saat dilakukannya kocok ulang untuk memperebutkan kursi Ketua/Wakil Ketua Komisi Informasi, kinerjanya menjadi terganggu dan pelayanan penyelesaian sengketa informasi publik banyak yang terbengkalai tak terurus.
  9. Yang tak kalah merugikan publik akibat adanya implementation error Komisi Informasi adalah ketidaksterilan Komisioner Komisi Informasi dalam kedudukannya sebagai pemutus sengketa/pengadil perkara. Dalam hal ini, Komisioner Komisi Informasi tidak dilarang untuk melakukan interaksi langsung dengan pihak Badan Publik yang pada saat bersamaan menjadi pihak Termohon Sengketa. Interaksi langsung yang terjadi dalam bentuk hubungan konsultatif dan/atau menjadikan Komisioner Komisi Informasi sebagai Narasumber kegiatan sosialisasi/bimtek terkait keterbukaan informasi publik yang diselenggarakan oleh Badan Publik, secara langsung menempatkan posisi Komisioner Komisi Informasi pada situasi conflict of interest. Maka, sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya kasus-kasus sengketa informasi publik yang ditangani dengan proses dan hasil akhir yang sangat merugikan warga negara Pengguna/Pemohon Informasi, karena Komisioner Komisi Informasi yang tidak steril dari benturan kepentingan itu berkongkalingkong dengan pihak Badan Publik untuk mengalahkan atau menggugurkan hak Pemohon/Pengguna Informasi Publik.
  10. Dan yang paling celaka dari implementation error Komisi Informasi adalah, tertutupnya akses publik untuk mempersoalkan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Komisioner Komisi Informasi. Dalam hal ini, laporan ataupun pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Komisi Informasi dapat dengan begitu saja diabaikan tanpa ada sanksi apapun. Komisioner Komisi Informasi yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik sulit untuk diproses dan dikenai sanksi, karena prosedur dan tata cara penanganan kasus kode etik Komisi Informasi sangat bersifat subyektif sesuai selera dan kepentingan Komisioner itu sendiri. Dalam hal ini, laporan/pengaduan masyarakat akan diproses melalui rapat pleno Komisi Informasi, dan rapat pleno dapat memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat. Tidak ada ketentuan yang menegaskan berapa lama batasan waktu laporan/pengaduan masyarakat akan ditindaklanjuti, dan tidak ada kriteria yang menentukan apakah suatu laporan/pengaduan wajib ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti. Dengan demikian, jika para Komisioner Komisi Informasi tidak menghendaki suatu laporan/pengaduan untuk ditindaklanjuti, maka laproan/pengaduan tersebut dapat didiamkan saja tanpa penanganan tindak lanjut sama sekali. Dan tidak ada sanksi apapun atas tindakan pembiaran tersebut.
Patut diduga bahwa implementation Error Komisi Informasi terjadi By Design dengan modus pelemahan kelembagaan dan pelemahan personil. Yang tentunya hal itu disutradarai oleh pihak yang tidak menginginkan Komisi Informasi tumbuh menjadi lembaga yang kuat dan profesional. Karena jika Komisi Informasi menjadi lembaga yang kuat dan profesional, maka Komisi Informasi dapat menjadi ancaman kedua setelah KPK yang cukup menyeramkan bagi sebagian kalangan elit kekuasaan di negeri ini, yang kadung mencintai dan tidak bisa melepaskan diri dari budaya mencuri (korupsi).
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia